Alhamdulillah umat muslim di seluruh dunia sedang bersuka cita
karena datangnya Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1442 H. Sebagai permulaan bulan
dalam kelender Islam, Muharram merupakan bulan yang istimewa, dimana ia
termasuk salah satu bulan yang dimuliakan Allah SWT selain Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, dan Rajab. Sebagai bagian dari Asyhurul Hurum (bulan haram),
di bulan Muharram
umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah karena Allah akan melipat
gandakan pahala seorang hamba pada bulan tersebut. Sebaliknya bagi orang yang
berbuat dosa, maka dosanya juga akan berlipat ganda.
1 Muharram yang
diperingati sebagai tahun baru Islam oleh umat Islam, ditandai dengan hijrahnya
Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M. Hijrah merupakan
momentum penting bagi umat Islam dalam dalam konteks kekinian. Jika dulu hijrah
ditandai dengan
perpindahan fisik dari Mekkah ke Madinah, maka dalam konteks kekinian, hijrah harus dimaknai
dengan arti yang lebih luas lagi, tidak hanya perpindahan fisik, hijrah juga
bermakna melakukan sebuah perubahan besar dari suatu kebiasaan buruk menjadi
kebiasaan baik atau dari sebuah kebiasaan yang belum sepenuhnya baik kepada
kebiasaan yang seutuhnya baik, baik dalam ruang lingkup ibadah, pekerjaan, dan
mua’malah sesama manusia, sehingga
predikat insan kamil (manusia yang sempurna) dapat dicapai oleh seorang
muslim.
Puncak cita-cita
utama seorang muslim adalah menjadi pribadi yang dicintai Allah, dengan meraih cinta-Nya
maka seorang muslim pasti akan mendapatkan segala kebaikan baik di dunia maupun
di akhirat. Namun untuk menjadi pribadi yang dicintai Allah, seorang muslim
harus melewati beberapa fase ke-agamaan. Salah satu dari tiga fase ke-agamaan
tersebut adalah Ihsan (berbuat baik). Ihsan merupakan buah dari
kemurnian Iman dan kebenaran Islam seseorang. Dalam surah al-Baqarah ayat 195 Allah berfirman: “Dan berbuat baiklah, sungguh Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik”. Adapun makna ihsan yang diajarkan oleh
baginda Muhammad SAW adalah “beribadahlah kamu kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan kalau pun engkau tidak dapat melihat-Nya, maka yakin lah bahwa
Allah Melihatmu. (HR: Muslim)
Penjabaran
makna ihsan dari hadits di atas adalah bagaimana seorang muslim mesti memiliki
sifat muraqabatullah yaitu suatu keyakinan bahwa dirinya dilihat,
diawasi dan dipantau penuh selama 24 jam oleh Allah, kapan dan dimana pun ia
berada dan sedang melakukan aktivitas apapun. Banyak ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang pengawasan Allah secara langsung terhadap hamba-hamba-Nya,
diantaranya tertuang dalam surah al-Hadid ayat 4, yang berbunyi “Dan Dia
bersama kamu dimana saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan”. Selanjutnya juga disebutkan oleh Allah dalam surah al-Qaf ayat 16
yang berbunyi “Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya”.
Selain
merasa terus dimonitor oleh Allah, semangat berbuat ihsan dalam segala hal juga
harus dilandasi bahwa Allah telah memberi teladan terlebih dahulu kepada
manusia dalam berbuat ihsan kepada makhluk-Nya dan berbuat ihsan dalam penciptaan
langit dan bumi. Hal itu ditegaskan Allah dalam surah al-Qashas ayat 77 yang
berbunyi “Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat
kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi, sungguh Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Ihsan baik dalam ibadah, bekerja, dan bermua’malah akan dapat dicapai dengan
dua indikator sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Pertama, setiap
aktivitas yang dilakukan seorang muslim harus dilandasi dengan niat yang ikhlas,
semata-mata karena Allah. Kedua, segala aktivitas yang dilakukan seorang muslim
harus berkesesuaian dengan syari’at yang telah diajarkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Konteks berbuat ihsan dalam hal ibadah, telah disebutkan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi
Muhammad pernah memerintahkan ulang shalat seseorang hingga tiga kali karena
menurut beliau shalat orang tersebut belum dilakukan dengan benar. Beliau
berkata “ulangi shalatmu karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat”.
Hal tersebut dikarenakan seseorang tadi belum melakukan shalat dengan prinsip
ihsan, yaitu dengan niat yang ikhlas serta sesuai dengan tuntunan syari’at yang
memenuhi syarat dan rukun shalat.
Dapat
dibayangkan sekarang ini, jikalau baginda Rasulullah berada ditengah-tengah
kita, maka dapat dipastikan banyak di antara kita yang tidak selamat dari
protes nabi terhadap sebahagian dari aktivitas kita karena tidak berkesesuaian
dengan konsep dan prinsip ihsan. Maka akan kerap sekali Rasulullah berkata
“ulangi lah lagi, sesungguhnya engkau belum melakukannya”.
Apa yang akan dikatakan Rasulullah kepada ulama-ulama dan mufti, yang
kebanyakan memfatwakan kesesatan dan memfatwakan hukum-hukum yang tidak
disertai dengan ilmu hanya karena mengikuti pesanan kelompok tertentu. Maka
Rasul akan berkata ulangi fatwamu, karena sesungguhnya kamu belum berfatwa
dengan benar. Apa yang dikatakan Rasul kepada para pendidik yang kebanyakannya masih
korupsi waktu ketika mengajar. Maka Rasul akan berkata ulangi proses mengajar
kalian, karena sesungguhnya kalian belum mengajar. Apa yang akan dikatakan
Rasul kepada seorang ayah dan ibu yang kebanyakannya belum memberi contoh dan
mendidik anak-anaknya dengan baik. Maka Rasul akan berkata ulangi lagi tarbiyah
kalian kepada anak-anak kalian, karena sesungguhnya kalian belum menjadi
seorang ayah dan ibu yang baik dan benar. Dan yang apa yang akan dikatakan
Rasulullah kepada pemimpin-pemimpin negeri dan abdi negara yang kebanyakannya
belum sungguh-sungguh melayani rakyatnya. Maka Rasul akan berkata ulangi lagi
kepemimpinanmu, karena sesungguhnya engkau belum menjadi pemimpin yang baik.
Dan juga apa yang dikatakan Rasul kepada profesi-profesi lainnya? niscaya Rasul
akan berkata, ulangi lah sekali lagi, karena sesungguhnya engkau belum
melakukannya.
Semua yang akan dikatakan Rasulullah SAW kepada kita seandainya beliau
hadir disisi kita saat ini adalah sebuah nada protes, karena kebanyakan dari
kita belum berlakon dan berktivitas dengan mengamalkan prinsip ihsan. Sekiranya
semua profesi dan aktivitas yang dilakukan seorang muslim berlandaskan prinsip
ihsan, niscaya kebangkitan umat akan mudah tercapai.
Maka dengan momentum bulan Muharram ini, mari bertekad penuh dalam diri
masing-masing senantiasa memperbaiki segala aktivitas dengan menerapkan prinsip
ihsan dalam kehidupan sehari-hari serta membayangkan jika baginda Nabi berada
disamping kita, apakan nabi setuju dengan lakon kita selama ini? terlebih lagi dunia
masih dalam masa pandemi covid 19, dengan mengikuti protokol kesehatan, maka
kita sudah menerapkan prinsip ihsan, yaitu tidak membahayakan diri sendiri
serta tidak membahayakan orang lain. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
No comments:
Post a Comment