Satu persatu pasien Covid-19 berguguran di bumi Serambi Mekah, setidaknya per tanggal 10 September 2020 data yang dikutip dari laman
website Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan pasien Covid yang meninggal dunia mencapai 87 jiwa. Hal ini semakin
membuktikan bahwa wabah Covid itu nyata adanya dan siap untuk memangsa siapapun tanpa pandang bulu.
Dalam dunia ilmu hadits, ada hadits
yang dinamakan dengan hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
banyak yang mustahil secara kebiasaan sekelompok orang banyak tersebut berbuat
dusta. Sepatutnya demikian juga cara pandang masyarakat
Aceh dalam menyikapi
fenomena Covid ini, dimana mustahil banyak negara di belahan bumi bersepakat
untuk berbohong tentangnya. Terlepas bahwa penyebab wabah Covid muncul itu secara
alami atau disebabkan oleh ulah tangan konspirasi jahat manusia, bahkan ada angka
korban di suatu negara dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu,
itu adalah persoalan lain. Namun yang
pasti wabah Covid itu ada bersama kita saat ini..
Merujuk pada bulan Maret
lalu ketika jumlah
pasien positif Covid masih nihil, yang ada hanyalah pasien yang berstatus Orang Dalam Pemantaun (ODP) sebanyak
200-an jiwa, banyak para tokoh, ilmuan serta Pemerintah sendiri kerap sekali menghimbau kepada masyarakat
untuk tidak abai terhadap anjuran penerapan protokol kesehatan. Mulai dari himbauan untuk melakukan
pembatasan sosial, menjauhi kerumunan serta bersabar untuk berkumpul dalam
jumlah banyak, termasuk juga bersabar untuk tidak berkumpul di warkop bahkan
bersabar untuk tidak ke rumah ibadah, hal itu semua semata-mata untuk memutus
rantai penyebaran Covid. Namun apalah daya, sikap sebahagian dari masyarakat
Aceh yang cenderung keras dan acuh, sehingga peringatan dini tersebut tidak
cukup penting untuk didengar dan dipatuhi.
Akibat
dari sikap abai di atas, masyarakat Aceh sekarang harus menelan pil pahit, saat
ini Aceh baru mulai merasakan gelombang besar Covid, dimana Aceh sempat berada di urutan 10 besar tingkat penyebaran Covid di seluruh
Indonesia pada awal bulan September lalu, dan
per tanggal 10 September jumlah pasien yang positif terinfeksi sudah menyentuh
anagka 2.257. Hal tersebut sangatlah
ironi, dimana disaat daerah atau bahkan negara lain sudah mulai berangsur-angsur pulih
dari wabah ini, kita Aceh baru memulainya. Saat ini baru satu
persatu warkop dan pusat pasar mulai sepi bahkan ada beberapa Gampong sudah seperti tidak ada
penghuninya lagi karena takut untuk keluar rumah. Itu membuktikan bahwa sikap
keras masyarakat Aceh dulu tidak pada tempatnya. Namun, masih belum
terlambat untuk memperbaiki keadaan ini, yang bahwa masyarakat tidak patuh
terhadap protokol kesehatan, tidak semuanya menjadi kesalahan dari masyarakat itu sendiri,
tentu pemerintah juga punya andil besar didalamnya.
Untuk memperbaiki keadaan ini, Pemerintah bersama
masyarakat harus mengambil langkah-langkah strategis dan kongkrit untuk
penanggulangan Covid di Aceh. Bukan hanya membagi-bagikan masker, namun ada hal
penting lainnya yang harus segera dilakukan Pemerintah, di antaranya Pemerintah
harus melakukan tranparansi dan sosialisasi data untuk daerah atau Gampong-gampong
yang sudah terpapar sehingga masyarakat bisa lebih mawas diri. Pemerintah harus
merekrut relawan khusus Covid untuk membantu tenaga medis yang ada, disertai
dengan pelatihan secara cepat, efektif dan efisien. Dengan dana penanggulangan
Covid yang dimilikinya, Pemerintah juga harus segera melengkapi serta
memperbanyak fasilitas dan alat kesehatan baik untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/
Kota. Pemerintah harus mengintegrasikan aturan pelayanan penanggulan serta pencegahan
Covid mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan serta Gampong.
Dalam hal ini jangan ada lagi korban meninggal yang dibawa pulang paksa dari
rumah sakit oleh keluarga korban sehingga menularkan kepada keluarga lainnya di
Gampong tersebut. Dan hal yang paling penting untuk diterapkan segera adalah
perketat aturan mobilitas keluar-masuk di Bandara dan perbatasan dengan
menerapkan syarat-syarat dan aturan keselamatan yang pasti dan akurat.
Kepada
masyarakat hendaknya juga tidak menyembunyikan informasi korban meninggal
ataupun yang sedang terinfeksi Covid, karena hal itu akan membahayakan orang
banyak, dan hal itu dilarang dalam Islam. Lebih lanjut, jangan jadikan himbauan
penerapan protokol kesehatan sebagai lelucon, layaknya lelucon terhadap
himbauan tentang bahayanya merokok yang dapat meyebabkan kematian, namun nihil
penerapan dan aplikatif di lapangan. Kepada masyarakat juga sangat dianjurkan
untuk meningkatkan antibodi masing-masing serta senantiasa terus berdo’a kepada
Allah SWT agar segera mengangkat wabah Covid ini.
Sambil memperbaiki keadaan, baik Pemerintah maupun masyarakat mestilah juga
belajar dari kesalahan masa lalu dalam penanganan dan pencegahan wabah ini agar
menjadi bahan evaluasi dikemudian hari. Di antara hal tersebut, Pemerintah harus
mendata, menelaah serta merekam untuk setiap langkah serta solusi yang sudah
diambil oleh tim Satuan Tugas (Satgas Covid) sehingga dapat dijadikan database
serta acuan bagi Pemerintah dalam penanganan dan antisipasi terhadap wabah dan
bencana kesehatan lainnya di kemudian hari. Sehingga tidak perlu meraba-raba
dan mengulangi kesalahan yang sama. Kepada Pemerintah juga harus mengukur
kemampuan daerahnya untuk kecukupan bahan pangan dalam kurun waktu tertentu, sehingga
jika aturan lock down harus diterapkan, Aceh mampu bertahan tanpa harus
bergantung suplai dari daerah lain.
Semua langkah di atas semata-mata sebagai suatu ikhtiar bagi Pemerintah dan
masyarakat Aceh dalam hal pencegahan dan penanggulan wabah Covid, bukan kah
dengan menerapkan protokol kesehatan serta menjalankan ikhtiar di atas, kita
telah menyelamatkan satu bahkan banyak nyawa manusia lainnya, juga berlaku
sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan janji Allah dalam al-Qur’an yang
berbunyi “Barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh
orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”.
(QS: al-Maidah: 32)
Kembali pada judul tulisan di atas, Covid-19 dan titian Shirat, tentu ada
hikmah dan ibrah besar yang harus dipetik dari peristiwa Covid ini dalam konteks
keimanan seorang muslim ketika menghadapi Hisab dan titian Shirat pada hari
Pembalasan nanti. Setidaknya tamsil tentang mudah atau susahnya masyarakat
Aceh, daerah atau bahkan negara lainnya dalam menanggulangi Covid adalah
laksana permisalan seorang hamba ketika dihisab dan berjalan di titian Shirat
kelak. Ada yang dihisab dan melalui titian Shirat dengan mudah, namun tidak sedikit
juga yang melaluinya dengan penuh kepayahan dan kesulitan. Tentunya hal itu sangat bergantung
pada amal shalih yang dipersiapkan oleh seorang hamba selama di hidup dunia. Demikian juga
halnya, mudah atau tidaknya sebuah daerah atau negara dalam menanggulangi Covid
sangat lah bergantung pada usaha dan keseriusan Pemerintah serta peran aktif masyarakatnya
dalam memberantas dan menanggulangi wabah tersebut. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
No comments:
Post a Comment