Sunday, August 7, 2022

Covid 19 & Titian Shirat



Satu persatu pasien Covid-19 berguguran di bumi Serambi Mekah, setidaknya per tanggal 10 September 2020 data yang dikutip dari laman website Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan pasien Covid yang meninggal dunia mencapai 87 jiwa. Hal ini semakin membuktikan bahwa wabah Covid itu nyata adanya dan siap untuk memangsa siapapun tanpa pandang bulu.

Dalam dunia ilmu hadits, ada hadits yang dinamakan dengan hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang banyak yang mustahil secara kebiasaan sekelompok orang banyak tersebut berbuat dusta. Sepatutnya demikian juga cara pandang masyarakat Aceh dalam menyikapi fenomena Covid ini, dimana mustahil banyak negara di belahan bumi bersepakat untuk berbohong tentangnya. Terlepas bahwa penyebab wabah Covid muncul itu secara alami atau disebabkan oleh ulah tangan konspirasi jahat manusia, bahkan ada angka korban di suatu negara dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu, itu adalah persoalan lain. Namun yang pasti wabah Covid itu ada bersama kita saat ini..

            Merujuk pada bulan Maret lalu ketika jumlah pasien positif Covid masih nihil, yang ada hanyalah pasien yang berstatus Orang Dalam Pemantaun (ODP) sebanyak 200-an jiwa, banyak para tokoh, ilmuan serta Pemerintah sendiri kerap sekali menghimbau kepada masyarakat untuk tidak abai terhadap anjuran penerapan protokol kesehatan. Mulai dari himbauan untuk melakukan pembatasan sosial, menjauhi kerumunan serta bersabar untuk berkumpul dalam jumlah banyak, termasuk juga bersabar untuk tidak berkumpul di warkop bahkan bersabar untuk tidak ke rumah ibadah, hal itu semua semata-mata untuk memutus rantai penyebaran Covid. Namun apalah daya, sikap sebahagian dari masyarakat Aceh yang cenderung keras dan acuh, sehingga peringatan dini tersebut tidak cukup penting untuk didengar dan dipatuhi.

            Akibat dari sikap abai di atas, masyarakat Aceh sekarang harus menelan pil pahit, saat ini Aceh baru mulai merasakan gelombang besar Covid, dimana Aceh sempat berada di urutan 10 besar tingkat penyebaran Covid di seluruh Indonesia pada awal bulan September lalu, dan per tanggal 10 September jumlah pasien yang positif terinfeksi sudah menyentuh anagka 2.257. Hal tersebut sangatlah ironi, dimana disaat daerah atau bahkan negara lain sudah mulai berangsur-angsur pulih dari wabah ini, kita Aceh baru memulainya. Saat ini baru satu persatu warkop dan pusat pasar mulai sepi bahkan ada beberapa Gampong sudah seperti tidak ada penghuninya lagi karena takut untuk keluar rumah. Itu membuktikan bahwa sikap keras masyarakat Aceh dulu tidak pada tempatnya. Namun, masih belum terlambat untuk memperbaiki keadaan ini, yang bahwa masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan, tidak semuanya menjadi kesalahan dari masyarakat itu sendiri, tentu pemerintah juga punya andil besar didalamnya.

            Untuk memperbaiki keadaan ini, Pemerintah bersama masyarakat harus mengambil langkah-langkah strategis dan kongkrit untuk penanggulangan Covid di Aceh. Bukan hanya membagi-bagikan masker, namun ada hal penting lainnya yang harus segera dilakukan Pemerintah, di antaranya Pemerintah harus melakukan tranparansi dan sosialisasi data untuk daerah atau Gampong-gampong yang sudah terpapar sehingga masyarakat bisa lebih mawas diri. Pemerintah harus merekrut relawan khusus Covid untuk membantu tenaga medis yang ada, disertai dengan pelatihan secara cepat, efektif dan efisien. Dengan dana penanggulangan Covid yang dimilikinya, Pemerintah juga harus segera melengkapi serta memperbanyak fasilitas dan alat kesehatan baik untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Pemerintah harus mengintegrasikan aturan pelayanan penanggulan serta pencegahan Covid mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan serta Gampong. Dalam hal ini jangan ada lagi korban meninggal yang dibawa pulang paksa dari rumah sakit oleh keluarga korban sehingga menularkan kepada keluarga lainnya di Gampong tersebut. Dan hal yang paling penting untuk diterapkan segera adalah perketat aturan mobilitas keluar-masuk di Bandara dan perbatasan dengan menerapkan syarat-syarat dan aturan keselamatan yang pasti dan akurat.

            Kepada masyarakat hendaknya juga tidak menyembunyikan informasi korban meninggal ataupun yang sedang terinfeksi Covid, karena hal itu akan membahayakan orang banyak, dan hal itu dilarang dalam Islam. Lebih lanjut, jangan jadikan himbauan penerapan protokol kesehatan sebagai lelucon, layaknya lelucon terhadap himbauan tentang bahayanya merokok yang dapat meyebabkan kematian, namun nihil penerapan dan aplikatif di lapangan. Kepada masyarakat juga sangat dianjurkan untuk meningkatkan antibodi masing-masing serta senantiasa terus berdo’a kepada Allah SWT agar segera mengangkat wabah Covid ini.

Sambil memperbaiki keadaan, baik Pemerintah maupun masyarakat mestilah juga belajar dari kesalahan masa lalu dalam penanganan dan pencegahan wabah ini agar menjadi bahan evaluasi dikemudian hari. Di antara hal tersebut, Pemerintah harus mendata, menelaah serta merekam untuk setiap langkah serta solusi yang sudah diambil oleh tim Satuan Tugas (Satgas Covid) sehingga dapat dijadikan database serta acuan bagi Pemerintah dalam penanganan dan antisipasi terhadap wabah dan bencana kesehatan lainnya di kemudian hari. Sehingga tidak perlu meraba-raba dan mengulangi kesalahan yang sama. Kepada Pemerintah juga harus mengukur kemampuan daerahnya untuk kecukupan bahan pangan dalam kurun waktu tertentu, sehingga jika aturan lock down harus diterapkan, Aceh mampu bertahan tanpa harus bergantung suplai dari daerah lain.

Semua langkah di atas semata-mata sebagai suatu ikhtiar bagi Pemerintah dan masyarakat Aceh dalam hal pencegahan dan penanggulan wabah Covid, bukan kah dengan menerapkan protokol kesehatan serta menjalankan ikhtiar di atas, kita telah menyelamatkan satu bahkan banyak nyawa manusia lainnya, juga berlaku sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan janji Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi “Barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”. (QS: al-Maidah: 32)     

Kembali pada judul tulisan di atas, Covid-19 dan titian Shirat, tentu ada hikmah dan ibrah besar yang harus dipetik dari peristiwa Covid ini dalam konteks keimanan seorang muslim ketika menghadapi Hisab dan titian Shirat pada hari Pembalasan nanti. Setidaknya tamsil tentang mudah atau susahnya masyarakat Aceh, daerah atau bahkan negara lainnya dalam menanggulangi Covid adalah laksana permisalan seorang hamba ketika dihisab dan berjalan di titian Shirat kelak. Ada yang dihisab dan melalui titian Shirat dengan mudah, namun tidak sedikit juga yang melaluinya dengan penuh kepayahan dan kesulitan. Tentunya hal itu sangat bergantung pada amal shalih yang dipersiapkan oleh seorang hamba selama di hidup dunia. Demikian juga halnya, mudah atau tidaknya sebuah daerah atau negara dalam menanggulangi Covid sangat lah bergantung pada usaha dan keseriusan Pemerintah serta peran aktif masyarakatnya dalam memberantas dan menanggulangi wabah tersebut. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

No comments:

Post a Comment

Refleksi Keptauhan di Hari Raya Kurban

Alhamdulillah, lebih kurang satu pekan lagi sekitar satu miliar umat muslim dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H, yang mana didal...