Sunday, August 7, 2022

Refleksi Keptauhan di Hari Raya Kurban


Alhamdulillah, lebih kurang satu pekan lagi sekitar satu miliar umat muslim dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H, yang mana didalamnya terdapat dua ibadah Agung bagi umat Islam, yaitu puncak pelaksanaan ibadah haji yang ditandai dengan wuqufnya jama’ah haji di Padang Arafah serta pensyari’atan penyembelihan hewan qurban. Sebagaimana hari Raya Idul Fitri yang lalu, tentunya Raya Idul Adha tahun ini juga akan dirasakan berbeda oleh masyarakat muslim dunia dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaaan itu disebabkan oleh situasi dan keadaan dunia yang sedang dilanda pandemi Covid 19. Kita tidak tahu sampai kapan dunia akan diliputi oleh rasa takut berkepanjangan yang telah merubah semua tatanan kebiasaan normal menjadi abnormal seperti yang kita rasakan sekarang ini. Yang pasti kita sebagai umat muslim dilarang untuk berputus asa, justru harus senantiasa terus berusaha, bertawakkal serta berdo’a kepada Allah agar musibah ini segera berlalu. Allah SWT berfirman: “Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan”. (QS: as-Syarhu ayat 6).

Imbas dari pandemi ini selain meluluh lantakkan perekonomian dunia, covid juga turut membatasi hubungan muamalah antar sesama manusia, ber-sosial bahkan ber-agama. Dan hal yang paling menyesakkan adalah terhambatnya umat muslim dunia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun ini. Berangkat dari fenomena dan realita di atas, umat Islam dituntut untuk merefleksi serta memaknai kembali dinamika kehidupan religiusnya, tepatnya ditahun-tahun sulit ini ketika ibadah haji tidak dibuka untuk umum, tentunya salah satu syiar besar umat Islam tahun ini berkurang, kalau tidak dikatakan telah tiada. Refleksi spritual tersebut dapat dilakukan dengan menyemarakkan kembali alternatif ibadah lainnya selain haji, yaitu ibadah qurban. Ibadah yang jauh selama ini dianggap sebagai ibadah enteng, ibadah sunnah dan hanya bagi yang mampu saja. Jauh dari anggapan tersebut padahal ibadah qurban mengandung nilai-nilai keagungan serta sarat akan dimensi kepatuhan yang menjadi pra syarat seorang hamba mencapai derajat taqwa.

Syari’at qurban diperintahkan kepada umat muslim untuk mengenang dan memperingati ujian Allah kepada Nabi Ibrahim dan kepada putranya Ismail. Tujuannya adalah menghidupkan syiar dan ajaran Islam berupa kepatuhan dan pengorbanan agung dua orang Nabi Allah. Selain itu, ibadah qurban juga bertujan untuk mengikat tali kasih, menyapa kaum kerabat, fakir miskin dan anak yatim disekeliling kita. Berangkat dari dua tujuan besar tersebut, tidak sedikit ulama yang mewajibkan ibadah qurban ini, dimana sebahagian besar lainnya hanya menghukumi sebatas pada sunnah muakkadah (sunnah yang dikuatkan).

Dan untuk mewujudkan dua tujuan besar di atas,  tata cara ibadah qurban pun diatur dalam berbagai literature fikih, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadits Nabi. Di antaranya, penyembelihan hewan qurban dimulai pada saat selesai menunaikan shalat Idul Adha, yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah dan diakhiri sampai dengan tiga hari tasyriq yaitu 11,12, dan 13 Dzulhijjah. Dinamakan dengan hari tasyriq karena hari dimana kaum muslimin menjemur daging qurban untuk disantap dan dimakan bersama-sama. Rasulullah SAW bersabda Hari-hari tasyriq adalah hari kaum muslimin untuk menikmati makanan dan minuman (HR: Muslim). Diantara aturan lainnya adalah daging qurban selain disedekahkan kepada fakir miskin dan karib kerabat, juga dapat dinikmati sebahagiannya oleh shahibul qurban atau tidak lebih dari sepertiganya dan paling utama adalah dinikmati dalam jumlah sedikit saja untuk mendapatkan keberkahan qurban dan sisanya diberikan kepada yang membutuhkan. Berbeda halnya dengan qurban yang diniatkan untuk nazar, maka tidak dapat diambil manfa’atnya sedikitpun, melainnkan sepenuhnya disedekahkan kepada yang membutuhkan.

Point berikutnya yang telah diatur dalam fikih tentang tata cara berqurban adalah menyembelih hewan qurban di tempat domisili shahibul qurban. Karena dengan hal tersebut lebih memudahkan dalam menjalankan sunnah-sunnah qurban. Seperti menyembelih hewan qurban sendiri, menghadiri penyembelihan, memakan sedikit dari daging qurban tersebut. Dan tentunya tujuan utama dari ibadah qurban itu sendiri dapat dicapai yaitu menyambung silaturahmi serta mengeratkan kembali rasa persaudaran antar sesama muslim.

Kembali kepada tema tulisan ini, yaitu merefleksikan kembali hari raya qurban, dalam sejarah pensyari’atan qurban mengandung nilai-nilai kepatuhan sebagai wujud dari usaha seorang hamba menuju derajat taqwa. Dalam surah ash-shaffat ayat 102 dan ayat 107 kita akan mendapati sebuah model pengorbanan, kepatuhan dan kesabaran yang agung dari dua orang hamba Allah. Bagaimana tidak, kepatuhan dan pengorbanan apalagi yang lebih besar dari pada pengorbanan menyembelih anak sendiri. Allah berfirman: 

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku  Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa  Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Lantas atas kesabaran dan kepatuhan Ibrahim dan Ismail atas perintah Allah tersebut, Allah menggantikan penyembelihan dengan seekor sembelihan yang besar, yaitu domba. Hal Itu diberitakan oleh Allah pada lanjutan ayat 107.

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

Pelajaran yang dapat kita petik dari penggalan ayat al-Quran di atas adalah, ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail tidak ada satu sikap pun dari Ibrahim menawar perintah Allah, begitu juga dengan Ismail. Begitu juga seharusnya sikap umat Islam ketika Allah memerintahkan untuk berqurban, maka tidak ada tawar-menawar lagi dengan dalih belum mampu, atau dengan menganalogikan bahwa sedekah lebih  baik dan bermanfa’at dari pada qurban.

Sedekah harta biasa bisa dilakukan sepanjang tahun, namun ibadah qurban terkait dengan waktu, hanya bisa dilakukan sekali dalam satu tahun. Dan dengan melakukan ibadah qurban niscaya seorang muslim sudah melakukan dua ibadah sekaligus, yaitu ketaatan terhadap perintah Allah dan juga sekaligus bersedekah daging qurban kepada fakir miskin dan karib kerabat. Oleh sebab itu, ulama mengatakan ibadah qurban itu tetap lebih baik dari pada bersedekah uang yang nilainya jauh lebih besar dari pada nilai qurban tersebut.

Sekali lagi ini adalah soal kepatuhan seorang hamba kepada Allah, jangan sampai kita termasuk kedalam golongan yang terus merasa miskin ketika hari raya qurban tiba, dimana kita sanggup bersedekah setiap hari, minggu dan tahunnya,  namun tiba-tiba kita menjadi miskin ketika hari raya qurban tiba.

Pelajaran penting lainnya yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah, yakinlah ketika seorang hamba telah benar-benar patuh kepada Allah, pasti Allah akan menggantikan semua pengorbanan seorang hamba tersebut dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana Allah menggantikan sesembelihan Ismail putra Ibrahim dengan seekor domba besar sebagai balasan terhadap kepatuhan dan pengorbanan mereka atas perintah Allah.

Hari raya qurban masih akan datang beberapa hari lagi, belum terlambat, mari menjadi hamba Allah yang benar-benar patuh, mari memaknai kembali hari raya qurban, yaitu dengan menjadi shahibul qurban tahun ini…!

No comments:

Post a Comment

Refleksi Keptauhan di Hari Raya Kurban

Alhamdulillah, lebih kurang satu pekan lagi sekitar satu miliar umat muslim dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H, yang mana didal...