Islam adalah agama
paripurna dan universal (rahmatan lil alamin). Tidak ada hal yang tidak
diatur dalam Islam. Mulai dari urusan mu’amalah, pernikahan, keluarga, ekonomi
bahkan politik pun diatur dengan lengkap. Ketika umat tidak mendapatkan
jawabannya dari al-Qur’an, maka Allah memberikan mandat penuh kepada utusan-Nya
Nabi Muhammad untuk menjawab dan menjelaskan hal yang samar tersebut. Sehingga
bagi seorang muslim cukup lah dua perkara di atas, yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah menjadi sebagai pedoman hidup. Tujuan dari penetapan syari’at
(aturan) itu semua tak lain adalah untuk terciptanya keadilan, keteraturan dan
terjalinnya rasa kasih sayang antar umat manusia.
Diantara banyak hal
yang menjadi perhatian syari’at yang telah disebutkan di atas, dalam tulisan
ini akan dibahas secara ringkas perkara yang berhubungan dengan urusan mu’amalah
yang akan berfokus pada masalah hibah, wasiat dan warisan.
Ketiga hal tersebut semuanya berhubungan dengan harta, sehingga banyak menimbulkan
terjadinya perselisihan, permusuhan bahkan sampai penghilangan nyawa. Kita
sering mendengar kisah seorang anak yang menuntut hak harta kepada orang tua
atau sebaliknya orang tua yang bersumpah sampai matinya pun tidak mau harta warisannya
jatuh ke tangan anak-anaknya. Sering juga kita dapati bagaimana sebuah keluarga
tidak akur karena ketidakadilan yang terus menurus dipertontonkan didalamnya.
Semua itu terjadi disebabkan oleh rasa rakus, tamak serta ketiadaan ilmu.
Bahkan acap kali perselisihan itu terjadi disebabkan tidak patuhnya seorang
hamba, keluarga atau komunitas terhadap syari’at (aturan) yang telah ditetapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Padahal sekiranya saja mau mematuhi seluruh aturan
yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul serta tidak latah mencari keadilan versi
lainnya atau berusaha menggugat keadilan (hukum) Tuhan yang sudah paripurna,
niscaya mustahil akan terjadi hal-hal yang memilukan di atas.
Terkait dengan
hibah, wasiat dan warisan, ketiga hal tersebut semua sudah dibahas secara tuntas
dalam syari’at. Dalam literatur fiqih disebutkan, hibah berarti pemberian dari
seseorang kepada orang lain yang dilakukan ketika si pemilik harta masih hidup
dengan niat sedekah. Contoh orang tua yang memanggil semua anaknya lalu
membagikan pemberian yang sama. Maka dalam hal ini pemberian tersebut dihitung
sebagai hibah bukan warisan. Hal itu dibenarkan dalam syari’at akan tetapi
dengan syarat adil. Dan lebih baik kalau pemberian (hibah) itu dicatat serta menghadirkan
saksi guna menghindari perselisihan dikemudian hari.
Sementara wasiat, adalah
pemberian dari seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dengan niat
sedekah akan tetapi penyerahannya dilakukan ketika si pemiliki harta sudah
meninggal. Sebagai contoh, orang tua memanggil anaknya, lalu berkata bahwa ia
hendak mewasiatkan sebahagian hartanya untuk panti asuhan. Maka anak-anaknya
wajib menunaikan wasiat tersebut akan tetapi syari’at mengatur besarnya wasiat
tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si pemilik
harta. Dan wasiat juga tidak dibenarkan untuk diberikan kepada ahli waris kecuali
dengan persetujuan ahli waris lainnya.
Adapun warisan,
adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seorang yang meninggal kepada ahli
warisnya secara otomatis (langsung) tanpa harus adanya izin atau wasiat dari si
pemilik harta (yang meninggal). Untuk menghindari sengketa dan perselisihan maka
sebaiknya harta warisan langsung dibagikan ketika si pemilik harta meninggal
dunia.
Sekilas ada
kemiripan dari masing-masing ketiga hal di atas, yaitu sama-sama berpindahnya
harta dari seseorang kepada orang lain baik kepada ahli warisnya ataupun bukan
kepada ahli warisnya. Akan tetapi syari’at membedakan ketiga hal tersebut
secara rinci. Maka seorang muslim, harus benar-benar memiliki pengetahuan serta
patuh dalam menjalankan aturan tersebut. Namun dalam prakteknya, banyak dari umat
yang masih menyamakan atau mencampur adukkan ketiga hal di atas. Atau mungkin
sudah ada ilmu terhadapnya akan tetapi mencoba untuk mengelabui atau berusaha
untuk mencari dalih atau keadilan versi lainnya hanya untuk memperturutkan hawa
nafsu. Mereka berpaling dari keadilan (aturan) yang telah ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya.
Sebagai contoh, dalam satu keluarga ada
orang tua bersikap tidak adil terhadap pemberian (hibah) kepada anak-anaknya,
baik itu dalam bentuk materi maupun non materi (kasih sayang). Padahal syari’at
telah mewanti-wanti akan hal ini. Dalam sebuah hadits disebutkan, pernah suatu
ketika seseorang menghadap Rasulullah dengan anaknya, lalu berkata “sesungguhnya
aku akan memberikan budakku ini kepada anakku ini, Rasulullah bertanya, apakah
seluruh anakmu engkau berikan pemberian yang sama? Dia menjawab, “tidak”
Rasulullah bersabda “jangan engkau persaksikan aku dengan kejahatan
(kedzaliman) ini, kemudian Rasulullah melanjutkan apakah engkau mau kalau sikap
bakti yang mereka berikan sama? dia menjawab iya, kalau begitu tidak”. (HR:
Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits di atas Rasulullah
sangat menitik beratkan kepada orang tua untuk bersikap adil terhadap
anak-anaknya. Begitu pentingnya keadilan dalam sebuah keluarga sampai Rasulullah
pun mengajarkan wajib bersikap adil walau dalam masalah ciuman kepada anak
laki-laki dan perempuan sehingga tidak timbul kecemburuan yang berujung pada
putusnya tali silaturrahmi. Memang kecenderungan kepada salah satu anak adalah
hal yang berada diluar kuasa seorang hamba termasuk rasa lebih sayang kepada
salah satunya. Syari’at juga tidak membebani terhadap hal-hal yang berada
diluar kuasa hambanya, namun yang perlu digaris bawahi adalah menunjukkan atau
menampakkan secara terang-terangan rasa sayang yang lebih kepada salah satu
anak adalah sebuah kedzaliman yang jelas dilarang oleh syari’at. Jika pun rasa sayang
yang lebih terhadap salah satu anak itu muncul karena kelebihan yang ia miliki,
maka cukup rasa itu berada dalam hati saja, tidak untuk ditampakkan secara
zahir kepada anak-anak lainnya apalagi dengan unsur kesengajaan dengan mengekspresikannya
baik dengan perkataan ataupun perbuatan.
Contoh kekeliruan dalam urusan
warisan yaitu ketika orang tua lebih condong kepada salah satu anak, dalam hal
ini anak perempuan misalnya. Maka ketika masih hidup mereka mencoba untuk merekayasa
keadilan (aturan) Allah dengan menjual seluruh harta yang dimilikinya untuk
dibagikan secara merata kepada suluruh anak-anaknya. Hal itu dilakukan karena takut
ketika meninggal nanti hartanya akan dibagikan secara aturan syari’at, dimana
anak perempuan mendapat setengah dari jatah anak laki-laki. Dan pembagian harta
tersebut mereka catat sebagai warisan yang tidak boleh diganggu gugat lagi. Padahal
dalam syari’at sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, hal tersebut
masuk dalam katagori hibah bukan warisan. Motif mereka melakukan hal tersebut diantaranya
karena merasa aturan Allah dalam hal warisan tidak adil sehingga perlu mencari
keadilan versi sendiri sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka merasa semua anak-anaknya sama-sama
sudah berjasa semasa hidup mereka sehingga harta harus dibagi sama rata.
Padahal kalau mau berfikir sejenak,
semua yang telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya dalam hal warisan adalah
kebaikan dan keadilan yang sebenarnya. Ketika Allah mensyari’atkan bahwa hak anak
perempuan yaitu setengah dari hak anak laki-laki, maka didalamnya pasti ada
hikmah dan tujuan. Diantara hikmahnya adalah, apa yang diterima laki-laki
sebenarnya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan ada kewajiban
untuk menafkahi isteri dan keluarganya. Sebaliknya jika seorang perempuan
menikah maka semua keperluan hidupnya menjadi tanggung jawab suaminya. Sementara
warisan yang ia peroleh bisa digunakan untuk keperluan pribadinya.
Lebih dari itu keadilan akan
tercipta jika seluruh keluarga melaksanakan aturan waris yang telah ditetapkan
syari’at. Karena keadilan (keseimbangan) akan rusak bilamana salah satu keluarga
melanggar dan mengingkari aturan tersebut. Sebagai ilustrasi, jika seorang
laki-laki mendapatkan dua bagian dari warisan lalu dia menikah dengan seorang
perempuan yang mendapat satu bagian dari warisan. Maka ketika dijumlah,
keluarga tersebut mendapatkan tiga bagian dari seluruh harta warisan yang
mereka dapatkan dari masing-masing peninggalan harta orang tua mereka. Dan itu
akan berlaku seterusnya untuk semua pasangan keluarga yang menikah. Namun, ketika
satu keluarga mengingkari pembagian harta warisan yang telah diatur syari’at dengan
membagi sama rata antara laki-laki dan perempuan, maka saat itulah mereka merusak
ekosistem (lingkaran) keadilan yang sedang dijalankan Allah.
Sekalipun sebuah keluarga ridha
dengan pembagian sama rata tersebut, maka lebih utama adalah tetap membagi
sebagaimana pembagian yang telah ditetapkan oleh syari’at baru kemudian
bermusyawarah untuk disedekahkan atau dihadiahkan kepada saudara lain yang
lebih membutuhkan. Hal itu semata-mata untuk menjunjung tinggi aturan syari’at dan
juga menjadi bukti patuh dan ta’atnya seorang hamba kepada hukum Allah. Bukan
kah Allah ketika berfirman tentang warisan dalam surah an-Nisa ayat 11 menggunakan
lafaz “Allah telah mewasiatkan, yaitu mensyari’atkan dengan menetapkan langsung
bagian-bagian tertentu dalam pembagian harta warisan, meliputi dua bagian untuk
anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan? Kenapa Allah tidak
mewasiatkan untuk bermusyawarah terlebih dahulu dalam pembagiannya? Tentu itu
merupakan sebuah isyarat, bahwa Allah ingin menegaskan Dia Maha Tahu akan
kemaslahatan dan Maha Tahu apa yang menjadi kebaikan untuk hamba-hambanya.
Kita berdo’a kepada Allah, Dzat yang
Maha Adil agar menganugerahkan disisa umur kita ini prasangka baik, kepatuhan
dan keta’atan dalam menjalankan seluruh aturan yang telah disyari’atkan-Nya. Kita
juga berdo’a agar Allah tidak memasukkan kita bagian dari orang-orang yang
mengingkari apalagi ingin menggugat aturan-Nya. Sehingga ketika ajal tiba, maka
pada saat itu kita telah melaksanakan seluruh aturan syari’at dengan rasa
ikhlas dan ridha semata-mata mengharapkan perjumpaan dengan-Nya. Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
keren ustad
ReplyDelete