Sunday, August 7, 2022

Refleksi Keptauhan di Hari Raya Kurban


Alhamdulillah, lebih kurang satu pekan lagi sekitar satu miliar umat muslim dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H, yang mana didalamnya terdapat dua ibadah Agung bagi umat Islam, yaitu puncak pelaksanaan ibadah haji yang ditandai dengan wuqufnya jama’ah haji di Padang Arafah serta pensyari’atan penyembelihan hewan qurban. Sebagaimana hari Raya Idul Fitri yang lalu, tentunya Raya Idul Adha tahun ini juga akan dirasakan berbeda oleh masyarakat muslim dunia dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaaan itu disebabkan oleh situasi dan keadaan dunia yang sedang dilanda pandemi Covid 19. Kita tidak tahu sampai kapan dunia akan diliputi oleh rasa takut berkepanjangan yang telah merubah semua tatanan kebiasaan normal menjadi abnormal seperti yang kita rasakan sekarang ini. Yang pasti kita sebagai umat muslim dilarang untuk berputus asa, justru harus senantiasa terus berusaha, bertawakkal serta berdo’a kepada Allah agar musibah ini segera berlalu. Allah SWT berfirman: “Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan”. (QS: as-Syarhu ayat 6).

Imbas dari pandemi ini selain meluluh lantakkan perekonomian dunia, covid juga turut membatasi hubungan muamalah antar sesama manusia, ber-sosial bahkan ber-agama. Dan hal yang paling menyesakkan adalah terhambatnya umat muslim dunia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun ini. Berangkat dari fenomena dan realita di atas, umat Islam dituntut untuk merefleksi serta memaknai kembali dinamika kehidupan religiusnya, tepatnya ditahun-tahun sulit ini ketika ibadah haji tidak dibuka untuk umum, tentunya salah satu syiar besar umat Islam tahun ini berkurang, kalau tidak dikatakan telah tiada. Refleksi spritual tersebut dapat dilakukan dengan menyemarakkan kembali alternatif ibadah lainnya selain haji, yaitu ibadah qurban. Ibadah yang jauh selama ini dianggap sebagai ibadah enteng, ibadah sunnah dan hanya bagi yang mampu saja. Jauh dari anggapan tersebut padahal ibadah qurban mengandung nilai-nilai keagungan serta sarat akan dimensi kepatuhan yang menjadi pra syarat seorang hamba mencapai derajat taqwa.

Syari’at qurban diperintahkan kepada umat muslim untuk mengenang dan memperingati ujian Allah kepada Nabi Ibrahim dan kepada putranya Ismail. Tujuannya adalah menghidupkan syiar dan ajaran Islam berupa kepatuhan dan pengorbanan agung dua orang Nabi Allah. Selain itu, ibadah qurban juga bertujan untuk mengikat tali kasih, menyapa kaum kerabat, fakir miskin dan anak yatim disekeliling kita. Berangkat dari dua tujuan besar tersebut, tidak sedikit ulama yang mewajibkan ibadah qurban ini, dimana sebahagian besar lainnya hanya menghukumi sebatas pada sunnah muakkadah (sunnah yang dikuatkan).

Dan untuk mewujudkan dua tujuan besar di atas,  tata cara ibadah qurban pun diatur dalam berbagai literature fikih, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadits Nabi. Di antaranya, penyembelihan hewan qurban dimulai pada saat selesai menunaikan shalat Idul Adha, yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah dan diakhiri sampai dengan tiga hari tasyriq yaitu 11,12, dan 13 Dzulhijjah. Dinamakan dengan hari tasyriq karena hari dimana kaum muslimin menjemur daging qurban untuk disantap dan dimakan bersama-sama. Rasulullah SAW bersabda Hari-hari tasyriq adalah hari kaum muslimin untuk menikmati makanan dan minuman (HR: Muslim). Diantara aturan lainnya adalah daging qurban selain disedekahkan kepada fakir miskin dan karib kerabat, juga dapat dinikmati sebahagiannya oleh shahibul qurban atau tidak lebih dari sepertiganya dan paling utama adalah dinikmati dalam jumlah sedikit saja untuk mendapatkan keberkahan qurban dan sisanya diberikan kepada yang membutuhkan. Berbeda halnya dengan qurban yang diniatkan untuk nazar, maka tidak dapat diambil manfa’atnya sedikitpun, melainnkan sepenuhnya disedekahkan kepada yang membutuhkan.

Point berikutnya yang telah diatur dalam fikih tentang tata cara berqurban adalah menyembelih hewan qurban di tempat domisili shahibul qurban. Karena dengan hal tersebut lebih memudahkan dalam menjalankan sunnah-sunnah qurban. Seperti menyembelih hewan qurban sendiri, menghadiri penyembelihan, memakan sedikit dari daging qurban tersebut. Dan tentunya tujuan utama dari ibadah qurban itu sendiri dapat dicapai yaitu menyambung silaturahmi serta mengeratkan kembali rasa persaudaran antar sesama muslim.

Kembali kepada tema tulisan ini, yaitu merefleksikan kembali hari raya qurban, dalam sejarah pensyari’atan qurban mengandung nilai-nilai kepatuhan sebagai wujud dari usaha seorang hamba menuju derajat taqwa. Dalam surah ash-shaffat ayat 102 dan ayat 107 kita akan mendapati sebuah model pengorbanan, kepatuhan dan kesabaran yang agung dari dua orang hamba Allah. Bagaimana tidak, kepatuhan dan pengorbanan apalagi yang lebih besar dari pada pengorbanan menyembelih anak sendiri. Allah berfirman: 

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku  Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa  Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Lantas atas kesabaran dan kepatuhan Ibrahim dan Ismail atas perintah Allah tersebut, Allah menggantikan penyembelihan dengan seekor sembelihan yang besar, yaitu domba. Hal Itu diberitakan oleh Allah pada lanjutan ayat 107.

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

Pelajaran yang dapat kita petik dari penggalan ayat al-Quran di atas adalah, ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail tidak ada satu sikap pun dari Ibrahim menawar perintah Allah, begitu juga dengan Ismail. Begitu juga seharusnya sikap umat Islam ketika Allah memerintahkan untuk berqurban, maka tidak ada tawar-menawar lagi dengan dalih belum mampu, atau dengan menganalogikan bahwa sedekah lebih  baik dan bermanfa’at dari pada qurban.

Sedekah harta biasa bisa dilakukan sepanjang tahun, namun ibadah qurban terkait dengan waktu, hanya bisa dilakukan sekali dalam satu tahun. Dan dengan melakukan ibadah qurban niscaya seorang muslim sudah melakukan dua ibadah sekaligus, yaitu ketaatan terhadap perintah Allah dan juga sekaligus bersedekah daging qurban kepada fakir miskin dan karib kerabat. Oleh sebab itu, ulama mengatakan ibadah qurban itu tetap lebih baik dari pada bersedekah uang yang nilainya jauh lebih besar dari pada nilai qurban tersebut.

Sekali lagi ini adalah soal kepatuhan seorang hamba kepada Allah, jangan sampai kita termasuk kedalam golongan yang terus merasa miskin ketika hari raya qurban tiba, dimana kita sanggup bersedekah setiap hari, minggu dan tahunnya,  namun tiba-tiba kita menjadi miskin ketika hari raya qurban tiba.

Pelajaran penting lainnya yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah, yakinlah ketika seorang hamba telah benar-benar patuh kepada Allah, pasti Allah akan menggantikan semua pengorbanan seorang hamba tersebut dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana Allah menggantikan sesembelihan Ismail putra Ibrahim dengan seekor domba besar sebagai balasan terhadap kepatuhan dan pengorbanan mereka atas perintah Allah.

Hari raya qurban masih akan datang beberapa hari lagi, belum terlambat, mari menjadi hamba Allah yang benar-benar patuh, mari memaknai kembali hari raya qurban, yaitu dengan menjadi shahibul qurban tahun ini…!

Covid 19 & Titian Shirat



Satu persatu pasien Covid-19 berguguran di bumi Serambi Mekah, setidaknya per tanggal 10 September 2020 data yang dikutip dari laman website Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan pasien Covid yang meninggal dunia mencapai 87 jiwa. Hal ini semakin membuktikan bahwa wabah Covid itu nyata adanya dan siap untuk memangsa siapapun tanpa pandang bulu.

Dalam dunia ilmu hadits, ada hadits yang dinamakan dengan hadits Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang banyak yang mustahil secara kebiasaan sekelompok orang banyak tersebut berbuat dusta. Sepatutnya demikian juga cara pandang masyarakat Aceh dalam menyikapi fenomena Covid ini, dimana mustahil banyak negara di belahan bumi bersepakat untuk berbohong tentangnya. Terlepas bahwa penyebab wabah Covid muncul itu secara alami atau disebabkan oleh ulah tangan konspirasi jahat manusia, bahkan ada angka korban di suatu negara dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu, itu adalah persoalan lain. Namun yang pasti wabah Covid itu ada bersama kita saat ini..

            Merujuk pada bulan Maret lalu ketika jumlah pasien positif Covid masih nihil, yang ada hanyalah pasien yang berstatus Orang Dalam Pemantaun (ODP) sebanyak 200-an jiwa, banyak para tokoh, ilmuan serta Pemerintah sendiri kerap sekali menghimbau kepada masyarakat untuk tidak abai terhadap anjuran penerapan protokol kesehatan. Mulai dari himbauan untuk melakukan pembatasan sosial, menjauhi kerumunan serta bersabar untuk berkumpul dalam jumlah banyak, termasuk juga bersabar untuk tidak berkumpul di warkop bahkan bersabar untuk tidak ke rumah ibadah, hal itu semua semata-mata untuk memutus rantai penyebaran Covid. Namun apalah daya, sikap sebahagian dari masyarakat Aceh yang cenderung keras dan acuh, sehingga peringatan dini tersebut tidak cukup penting untuk didengar dan dipatuhi.

            Akibat dari sikap abai di atas, masyarakat Aceh sekarang harus menelan pil pahit, saat ini Aceh baru mulai merasakan gelombang besar Covid, dimana Aceh sempat berada di urutan 10 besar tingkat penyebaran Covid di seluruh Indonesia pada awal bulan September lalu, dan per tanggal 10 September jumlah pasien yang positif terinfeksi sudah menyentuh anagka 2.257. Hal tersebut sangatlah ironi, dimana disaat daerah atau bahkan negara lain sudah mulai berangsur-angsur pulih dari wabah ini, kita Aceh baru memulainya. Saat ini baru satu persatu warkop dan pusat pasar mulai sepi bahkan ada beberapa Gampong sudah seperti tidak ada penghuninya lagi karena takut untuk keluar rumah. Itu membuktikan bahwa sikap keras masyarakat Aceh dulu tidak pada tempatnya. Namun, masih belum terlambat untuk memperbaiki keadaan ini, yang bahwa masyarakat tidak patuh terhadap protokol kesehatan, tidak semuanya menjadi kesalahan dari masyarakat itu sendiri, tentu pemerintah juga punya andil besar didalamnya.

            Untuk memperbaiki keadaan ini, Pemerintah bersama masyarakat harus mengambil langkah-langkah strategis dan kongkrit untuk penanggulangan Covid di Aceh. Bukan hanya membagi-bagikan masker, namun ada hal penting lainnya yang harus segera dilakukan Pemerintah, di antaranya Pemerintah harus melakukan tranparansi dan sosialisasi data untuk daerah atau Gampong-gampong yang sudah terpapar sehingga masyarakat bisa lebih mawas diri. Pemerintah harus merekrut relawan khusus Covid untuk membantu tenaga medis yang ada, disertai dengan pelatihan secara cepat, efektif dan efisien. Dengan dana penanggulangan Covid yang dimilikinya, Pemerintah juga harus segera melengkapi serta memperbanyak fasilitas dan alat kesehatan baik untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Pemerintah harus mengintegrasikan aturan pelayanan penanggulan serta pencegahan Covid mulai dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan serta Gampong. Dalam hal ini jangan ada lagi korban meninggal yang dibawa pulang paksa dari rumah sakit oleh keluarga korban sehingga menularkan kepada keluarga lainnya di Gampong tersebut. Dan hal yang paling penting untuk diterapkan segera adalah perketat aturan mobilitas keluar-masuk di Bandara dan perbatasan dengan menerapkan syarat-syarat dan aturan keselamatan yang pasti dan akurat.

            Kepada masyarakat hendaknya juga tidak menyembunyikan informasi korban meninggal ataupun yang sedang terinfeksi Covid, karena hal itu akan membahayakan orang banyak, dan hal itu dilarang dalam Islam. Lebih lanjut, jangan jadikan himbauan penerapan protokol kesehatan sebagai lelucon, layaknya lelucon terhadap himbauan tentang bahayanya merokok yang dapat meyebabkan kematian, namun nihil penerapan dan aplikatif di lapangan. Kepada masyarakat juga sangat dianjurkan untuk meningkatkan antibodi masing-masing serta senantiasa terus berdo’a kepada Allah SWT agar segera mengangkat wabah Covid ini.

Sambil memperbaiki keadaan, baik Pemerintah maupun masyarakat mestilah juga belajar dari kesalahan masa lalu dalam penanganan dan pencegahan wabah ini agar menjadi bahan evaluasi dikemudian hari. Di antara hal tersebut, Pemerintah harus mendata, menelaah serta merekam untuk setiap langkah serta solusi yang sudah diambil oleh tim Satuan Tugas (Satgas Covid) sehingga dapat dijadikan database serta acuan bagi Pemerintah dalam penanganan dan antisipasi terhadap wabah dan bencana kesehatan lainnya di kemudian hari. Sehingga tidak perlu meraba-raba dan mengulangi kesalahan yang sama. Kepada Pemerintah juga harus mengukur kemampuan daerahnya untuk kecukupan bahan pangan dalam kurun waktu tertentu, sehingga jika aturan lock down harus diterapkan, Aceh mampu bertahan tanpa harus bergantung suplai dari daerah lain.

Semua langkah di atas semata-mata sebagai suatu ikhtiar bagi Pemerintah dan masyarakat Aceh dalam hal pencegahan dan penanggulan wabah Covid, bukan kah dengan menerapkan protokol kesehatan serta menjalankan ikhtiar di atas, kita telah menyelamatkan satu bahkan banyak nyawa manusia lainnya, juga berlaku sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan janji Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi “Barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”. (QS: al-Maidah: 32)     

Kembali pada judul tulisan di atas, Covid-19 dan titian Shirat, tentu ada hikmah dan ibrah besar yang harus dipetik dari peristiwa Covid ini dalam konteks keimanan seorang muslim ketika menghadapi Hisab dan titian Shirat pada hari Pembalasan nanti. Setidaknya tamsil tentang mudah atau susahnya masyarakat Aceh, daerah atau bahkan negara lainnya dalam menanggulangi Covid adalah laksana permisalan seorang hamba ketika dihisab dan berjalan di titian Shirat kelak. Ada yang dihisab dan melalui titian Shirat dengan mudah, namun tidak sedikit juga yang melaluinya dengan penuh kepayahan dan kesulitan. Tentunya hal itu sangat bergantung pada amal shalih yang dipersiapkan oleh seorang hamba selama di hidup dunia. Demikian juga halnya, mudah atau tidaknya sebuah daerah atau negara dalam menanggulangi Covid sangat lah bergantung pada usaha dan keseriusan Pemerintah serta peran aktif masyarakatnya dalam memberantas dan menanggulangi wabah tersebut. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Muharram Sebagai Momentum Kebangkitan


Alhamdulillah umat muslim di seluruh dunia sedang bersuka cita karena datangnya Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1442 H. Sebagai permulaan bulan dalam kelender Islam, Muharram merupakan bulan yang istimewa, dimana ia termasuk salah satu bulan yang dimuliakan Allah SWT selain Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Sebagai bagian dari Asyhurul Hurum (bulan haram), di bulan Muharram umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah karena Allah akan melipat gandakan pahala seorang hamba pada bulan tersebut. Sebaliknya bagi orang yang berbuat dosa, maka dosanya juga akan berlipat ganda.

            1 Muharram yang diperingati sebagai tahun baru Islam oleh umat Islam, ditandai dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M. Hijrah merupakan momentum penting bagi umat Islam dalam dalam konteks kekinian. Jika dulu hijrah ditandai dengan perpindahan fisik dari Mekkah ke Madinah, maka dalam konteks kekinian, hijrah harus dimaknai dengan arti yang lebih luas lagi, tidak hanya perpindahan fisik, hijrah juga bermakna melakukan sebuah perubahan besar dari suatu kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik atau dari sebuah kebiasaan yang belum sepenuhnya baik kepada kebiasaan yang seutuhnya baik, baik dalam ruang lingkup ibadah, pekerjaan, dan mua’malah sesama manusia, sehingga predikat insan kamil (manusia yang sempurna) dapat dicapai oleh seorang muslim.

            Puncak cita-cita utama seorang muslim adalah menjadi pribadi yang dicintai Allah, dengan meraih cinta-Nya maka seorang muslim pasti akan mendapatkan segala kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Namun untuk menjadi pribadi yang dicintai Allah, seorang muslim harus melewati beberapa fase ke-agamaan. Salah satu dari tiga fase ke-agamaan tersebut adalah Ihsan (berbuat baik). Ihsan merupakan buah dari kemurnian Iman dan kebenaran Islam seseorang.  Dalam surah al-Baqarah ayat 195 Allah berfirman:  “Dan berbuat baiklah, sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Adapun makna ihsan yang diajarkan oleh baginda Muhammad SAW adalah “beribadahlah kamu kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau pun engkau tidak dapat melihat-Nya, maka yakin lah bahwa Allah Melihatmu. (HR: Muslim)

            Penjabaran makna ihsan dari hadits di atas adalah bagaimana seorang muslim mesti memiliki sifat muraqabatullah yaitu suatu keyakinan bahwa dirinya dilihat, diawasi dan dipantau penuh selama 24 jam oleh Allah, kapan dan dimana pun ia berada dan sedang melakukan aktivitas apapun. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pengawasan Allah secara langsung terhadap hamba-hamba-Nya, diantaranya tertuang dalam surah al-Hadid ayat 4, yang berbunyi “Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Selanjutnya juga disebutkan oleh Allah dalam surah al-Qaf ayat 16 yang berbunyi “Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”.

            Selain merasa terus dimonitor oleh Allah, semangat berbuat ihsan dalam segala hal juga harus dilandasi bahwa Allah telah memberi teladan terlebih dahulu kepada manusia dalam berbuat ihsan kepada makhluk-Nya dan berbuat ihsan dalam penciptaan langit dan bumi. Hal itu ditegaskan Allah dalam surah al-Qashas ayat 77 yang berbunyi “Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Ihsan baik dalam ibadah, bekerja, dan bermua’malah akan dapat dicapai dengan dua indikator sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Pertama, setiap aktivitas yang dilakukan seorang muslim harus dilandasi dengan niat yang ikhlas, semata-mata karena Allah. Kedua, segala aktivitas yang dilakukan seorang muslim harus berkesesuaian dengan syari’at yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Konteks berbuat ihsan dalam hal ibadah, telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad pernah memerintahkan ulang shalat seseorang hingga tiga kali karena menurut beliau shalat orang tersebut belum dilakukan dengan benar. Beliau berkata “ulangi shalatmu karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat”. Hal tersebut dikarenakan seseorang tadi belum melakukan shalat dengan prinsip ihsan, yaitu dengan niat yang ikhlas serta sesuai dengan tuntunan syari’at yang memenuhi syarat dan rukun shalat.

            Dapat dibayangkan sekarang ini, jikalau baginda Rasulullah berada ditengah-tengah kita, maka dapat dipastikan banyak di antara kita yang tidak selamat dari protes nabi terhadap sebahagian dari aktivitas kita karena tidak berkesesuaian dengan konsep dan prinsip ihsan. Maka akan kerap sekali Rasulullah berkata “ulangi lah lagi, sesungguhnya engkau belum melakukannya”.

Apa yang akan dikatakan Rasulullah kepada ulama-ulama dan mufti, yang kebanyakan memfatwakan kesesatan dan memfatwakan hukum-hukum yang tidak disertai dengan ilmu hanya karena mengikuti pesanan kelompok tertentu. Maka Rasul akan berkata ulangi fatwamu, karena sesungguhnya kamu belum berfatwa dengan benar. Apa yang dikatakan Rasul kepada para pendidik yang kebanyakannya masih korupsi waktu ketika mengajar. Maka Rasul akan berkata ulangi proses mengajar kalian, karena sesungguhnya kalian belum mengajar. Apa yang akan dikatakan Rasul kepada seorang ayah dan ibu yang kebanyakannya belum memberi contoh dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Maka Rasul akan berkata ulangi lagi tarbiyah kalian kepada anak-anak kalian, karena sesungguhnya kalian belum menjadi seorang ayah dan ibu yang baik dan benar. Dan yang apa yang akan dikatakan Rasulullah kepada pemimpin-pemimpin negeri dan abdi negara yang kebanyakannya belum sungguh-sungguh melayani rakyatnya. Maka Rasul akan berkata ulangi lagi kepemimpinanmu, karena sesungguhnya engkau belum menjadi pemimpin yang baik. Dan juga apa yang dikatakan Rasul kepada profesi-profesi lainnya? niscaya Rasul akan berkata, ulangi lah sekali lagi, karena sesungguhnya engkau belum melakukannya.

Semua yang akan dikatakan Rasulullah SAW kepada kita seandainya beliau hadir disisi kita saat ini adalah sebuah nada protes, karena kebanyakan dari kita belum berlakon dan berktivitas dengan mengamalkan prinsip ihsan. Sekiranya semua profesi dan aktivitas yang dilakukan seorang muslim berlandaskan prinsip ihsan, niscaya kebangkitan umat akan mudah tercapai.

Maka dengan momentum bulan Muharram ini, mari bertekad penuh dalam diri masing-masing senantiasa memperbaiki segala aktivitas dengan menerapkan prinsip ihsan dalam kehidupan sehari-hari serta membayangkan jika baginda Nabi berada disamping kita, apakan nabi setuju dengan lakon kita selama ini? terlebih lagi dunia masih dalam masa pandemi covid 19, dengan mengikuti protokol kesehatan, maka kita sudah menerapkan prinsip ihsan, yaitu tidak membahayakan diri sendiri serta tidak membahayakan orang lain. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Refleksi Keptauhan di Hari Raya Kurban

Alhamdulillah, lebih kurang satu pekan lagi sekitar satu miliar umat muslim dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H, yang mana didal...