Alhamdulillah, lebih kurang satu pekan lagi sekitar satu miliar umat muslim
dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H, yang mana didalamnya terdapat
dua ibadah Agung bagi umat Islam, yaitu puncak pelaksanaan ibadah haji yang
ditandai dengan wuqufnya jama’ah haji di Padang Arafah serta pensyari’atan
penyembelihan hewan qurban. Sebagaimana hari Raya Idul Fitri yang lalu,
tentunya Raya Idul Adha tahun ini juga akan dirasakan berbeda oleh masyarakat
muslim dunia dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaaan itu
disebabkan oleh situasi dan keadaan dunia yang sedang dilanda pandemi Covid 19.
Kita tidak tahu sampai kapan dunia akan diliputi oleh rasa takut berkepanjangan
yang telah merubah semua tatanan kebiasaan normal menjadi abnormal seperti yang
kita rasakan sekarang ini. Yang pasti kita sebagai umat muslim dilarang untuk
berputus asa, justru harus senantiasa terus berusaha, bertawakkal serta berdo’a
kepada Allah agar musibah ini segera berlalu. Allah SWT berfirman: “Sungguh bersama
kesulitan itu ada kemudahan”. (QS: as-Syarhu ayat 6).
Imbas dari pandemi ini selain
meluluh lantakkan perekonomian dunia, covid juga turut membatasi hubungan
muamalah antar sesama manusia, ber-sosial bahkan ber-agama. Dan hal yang paling menyesakkan adalah terhambatnya umat muslim
dunia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun ini. Berangkat dari fenomena
dan realita di atas, umat Islam dituntut untuk merefleksi serta memaknai kembali dinamika
kehidupan religiusnya, tepatnya ditahun-tahun sulit ini ketika ibadah haji tidak dibuka
untuk umum, tentunya salah satu syiar besar umat Islam tahun
ini berkurang, kalau tidak dikatakan telah tiada.
Refleksi spritual tersebut dapat dilakukan dengan menyemarakkan kembali
alternatif ibadah lainnya selain haji, yaitu ibadah qurban. Ibadah yang jauh
selama ini dianggap sebagai ibadah enteng, ibadah sunnah dan hanya bagi yang mampu saja. Jauh
dari anggapan tersebut padahal ibadah qurban mengandung nilai-nilai
keagungan serta sarat akan dimensi kepatuhan yang menjadi pra syarat seorang hamba mencapai
derajat taqwa.
Syari’at qurban diperintahkan kepada umat muslim untuk mengenang dan
memperingati ujian Allah kepada Nabi Ibrahim dan kepada putranya Ismail. Tujuannya
adalah menghidupkan syiar dan ajaran Islam berupa kepatuhan dan pengorbanan
agung dua orang Nabi Allah. Selain itu, ibadah qurban juga bertujan untuk mengikat
tali kasih, menyapa kaum kerabat, fakir miskin dan anak yatim disekeliling kita.
Berangkat dari dua tujuan besar tersebut, tidak sedikit ulama yang mewajibkan
ibadah qurban ini, dimana sebahagian besar lainnya hanya menghukumi sebatas pada
sunnah muakkadah (sunnah yang dikuatkan).
Dan untuk mewujudkan dua tujuan besar di
atas, tata cara ibadah qurban pun diatur
dalam berbagai literature fikih, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadits Nabi. Di antaranya, penyembelihan hewan
qurban dimulai pada saat selesai menunaikan shalat Idul Adha, yaitu pada
tanggal 10 Dzulhijjah dan diakhiri sampai dengan tiga hari tasyriq yaitu 11,12, dan 13 Dzulhijjah. Dinamakan
dengan hari tasyriq karena hari
dimana kaum muslimin menjemur daging qurban untuk disantap dan
dimakan bersama-sama. Rasulullah SAW bersabda “Hari-hari tasyriq adalah hari
kaum muslimin untuk menikmati makanan dan minuman” (HR: Muslim). Diantara aturan
lainnya adalah daging qurban selain disedekahkan kepada fakir miskin dan karib
kerabat, juga dapat dinikmati sebahagiannya oleh shahibul qurban atau tidak
lebih dari sepertiganya dan paling utama adalah dinikmati
dalam jumlah sedikit saja untuk mendapatkan keberkahan qurban dan sisanya diberikan
kepada yang membutuhkan. Berbeda halnya dengan qurban yang diniatkan untuk
nazar, maka tidak dapat diambil manfa’atnya sedikitpun, melainnkan sepenuhnya
disedekahkan kepada yang membutuhkan.
Point berikutnya yang telah diatur dalam
fikih tentang tata cara berqurban adalah menyembelih hewan qurban di tempat domisili
shahibul qurban. Karena dengan hal tersebut lebih memudahkan dalam menjalankan
sunnah-sunnah qurban. Seperti menyembelih hewan qurban sendiri, menghadiri
penyembelihan, memakan sedikit dari daging qurban tersebut. Dan tentunya tujuan
utama dari ibadah qurban itu sendiri dapat dicapai yaitu menyambung silaturahmi
serta mengeratkan kembali rasa persaudaran antar sesama muslim.
Kembali kepada tema tulisan ini, yaitu merefleksikan kembali
hari raya qurban, dalam sejarah pensyari’atan qurban mengandung
nilai-nilai kepatuhan sebagai wujud dari usaha seorang hamba menuju derajat
taqwa. Dalam surah ash-shaffat ayat 102 dan
ayat 107 kita akan mendapati sebuah model pengorbanan, kepatuhan dan kesabaran yang agung dari dua orang hamba Allah. Bagaimana tidak, kepatuhan dan
pengorbanan apalagi yang lebih besar dari pada pengorbanan menyembelih anak
sendiri. Allah berfirman:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
Lantas atas kesabaran dan kepatuhan Ibrahim dan
Ismail atas perintah Allah tersebut, Allah menggantikan
penyembelihan dengan seekor sembelihan yang besar, yaitu domba. Hal Itu diberitakan
oleh Allah pada lanjutan ayat 107.
“Dan
kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.
Pelajaran yang dapat kita petik dari
penggalan ayat al-Qur’an di atas adalah, ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk
menyembelih anaknya Ismail tidak ada satu sikap pun dari Ibrahim menawar
perintah Allah, begitu juga dengan Ismail. Begitu juga seharusnya sikap umat Islam ketika Allah memerintahkan untuk berqurban, maka tidak ada tawar-menawar
lagi dengan dalih belum mampu, atau dengan menganalogikan bahwa sedekah lebih baik dan bermanfa’at dari pada qurban.
Sedekah harta biasa bisa dilakukan sepanjang tahun, namun
ibadah qurban terkait dengan waktu, hanya bisa dilakukan sekali dalam satu
tahun. Dan dengan melakukan ibadah qurban niscaya seorang muslim sudah melakukan dua ibadah
sekaligus, yaitu ketaa’tan terhadap perintah Allah dan juga sekaligus bersedekah daging qurban
kepada fakir miskin dan karib kerabat. Oleh sebab itu, ulama
mengatakan ibadah qurban itu tetap lebih baik dari pada bersedekah uang
yang nilainya jauh lebih besar dari pada nilai qurban tersebut.
Sekali lagi ini adalah soal
kepatuhan seorang hamba kepada Allah, jangan sampai kita termasuk kedalam golongan
yang terus merasa miskin ketika hari raya qurban tiba, dimana kita sanggup bersedekah setiap hari, minggu dan tahunnya, namun tiba-tiba kita menjadi
miskin ketika hari raya qurban tiba.
Pelajaran penting lainnya yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah,
yakinlah ketika seorang hamba telah benar-benar patuh kepada Allah, pasti Allah
akan menggantikan semua pengorbanan seorang hamba tersebut dengan balasan yang
lebih baik. Sebagaimana Allah menggantikan sesembelihan Ismail
putra Ibrahim dengan seekor domba besar sebagai balasan terhadap kepatuhan dan
pengorbanan mereka atas perintah Allah.
Hari raya qurban masih akan datang beberapa hari lagi, belum terlambat,
mari menjadi hamba Allah yang benar-benar patuh, mari memaknai kembali hari
raya qurban, yaitu dengan menjadi shahibul qurban tahun ini…!